VALENTINENYA ASTRI, Oleh Olga "Elu pacar gue bukan sih?" Pertanyaan itu membuat Anto ngakak. Bukan apa-apa, soalnya yang bertanya demikian justru Astri yang sudah dipacarinya selama hampir setahun ini. Lucu benget cewek ini. Pertanyaannya tidak ada ujung pangkalnya. Mungkin karena perut sudah lapar apa yang diomongin jadi tidak sinkron sama otak. "Bukannya jawab malah ketawa. Menyebalkan." Astri menghempaskan pantatnya di samping Anto. Siang terasa semakin terik karena hati Astri jadi ikutan membara melihat polah pacarnya yang cuek itu. Untunglah semilir angin senantiasa terasa, kalau tidak, sudah ditinggalkannya Anto sendirian. Lihat saja mukanya yang cengengesan itu, benar-benar membuat kesal. "To, kamu masih mau jadi pacar gue nggak?" Aduh…. Aduh…. Astri ini sudah miring 'kali ya, rengekannya itu lho. "Memangnya kenapa? Sudah dapat yang baru ya?" Astri gondok. Ia selalu merasa tak berdaya di depan cowok beralis tebal ini. "Pertanyaan kamu kok aneh sih. Jangan-jangan kamu yang udah nggak mau jadi pacar gue." Jawaban diplomatis Anto membuat Astri kelimpungan. Kayaknya cowok ini masih belum mengerti akan arah pembicaraan mereka. "Kenapa sih dari tadi kamu melotot terus. Kayak ikan koki di rumah gue aja. Jelek… banget…." Perkataan Anto yang terakhir membuat Astri tersadar kalau Anto memang tidak pernah berubah. Begitu santai, nggak perdulian, mandiri. "To the point aja ya, apa kamu sudah merencanakan acara khusus untuk Valentine kita?" "Valentine?" "Iya, Valentine." "Apaan lagi tuh?" "Anto…! Kamu itu pura-pura bego atau memang bloon sih?" Anto mengangkat bahu, "Itu sih kebiasaan bule-bule. Di sini gaungnya cuma kedengaran di hotel-hotel atau café. Nggak umumlah." "Dasar norak! Semua pasangan jaman sekarang merayakan hari kasih sayang dengan acara spesial tau! Masa kita doang yang nggak, To!" Tuh kan, kalau keinginannya tidak dipenuhi maka Astri akan merengek manja. Anto jadi tepekur. Lama banget baru ia menjawab. "As, aku nggak pernah punya rencana untuk ber-valentine berduaan sama kamu. Ngapain sih. Bukan malam minggu lagi. Nggak asyiklah." Tampang Astri semakin mirip tikus yang kecemplung di selokan. Apa kata Vivien dan Dahlia bila tahu, hanya Astri yang tidak punya rencana di hari kasih sayang. "Jangan paksa gue untuk melakukan hal yang nggak sesuai dengan nurani gue dong, As. Masa gara-gara Valentine kita jadi berantem?" Mulut Astri maju beberapa senti. "Beri alasan yang masuk akal dong supaya gue bisa nerima." Duh, manjanya gadisku, ujar Anto dalam hati. "Pertama, gue sayang kamu dan nggak perlu nunggu Valentine untuk bersayang-sayangan. Iya kan?" "Anto… kamu tuh…." "Kedua, gue memang nggak pernah berencana untuk merayakan Valentine berduaan sama kamu. Itu kan mubazir." "Kamu keterlaluan…." "Ketiga, kalau dipaksain, emangnya mau ngapain sih? Makan berdua sudah sering, ngasih kado baru bulan lalu, nyium kamu juga sudah biasa. Nonton doang kayaknya lagi nggak ada film yang bagus. Jadi …." "Anto, kamu jahat, gue sebel.. sebelll…." "Ya sudah." Astri berlari menjauh. Dasar nggak romantis, kampungan, mau menang sendiri. Astri masih menunggu dengan harapan di detik terakhir Anto akan memberikan surprise padanya. Tetapi hasilnya konyol. Anto santai-santai saja di sekolah padahal hari ini kan tanggal empat belas Februari dan seluruh siswi di kelas Astri memakai korsase pink untuk memperingati Valentine's Day. "As, nanti ada praktikum nggak?" Tanya Anto ketika lewat di muka kelas Astri. Itu juga kebetulan, sebenarnya ia mencari Heru, teman sekelas Astri. Soalnya mereka janjian nge-band besok sore. "Ada." "Mau ditungguin nggak pulangnya?" "Pulang pakai motor bututmu itu?" Tanya Astri seraya berharap kalau hari ini Anto ke sekolah naik Peugeot 206-nya. "Iya. Masa mau naik helikopter, mendaratnya dimana?" canda Anto. "Nggak lucu." "Emang gue bukan pelawak kok." Muka Astri langsung cemberut, "Kalau begitu, gue mau pulang sendiri aja. Kamu pulang duluan deh." "Ya udah. Daah." Tuh kan. Gimana nggak ngeselin tuh cowok. Percuma saja menunggu Anto sampai malam. Cowok itu tetap tidak datang. Akhirnya Astri menangis sendiri. Ada benci, kesal, marah, malu jadi satu bercampur aduk di dadanya. Bahkan telpon pun tidak dilakukan Anto untuk sekedar menghiburnya. Diliriknya jam dinding di kamar. Sudah pukul sembilan malam. Mungkin masih ada harapan Anto akan memberi kejutan luar biasa yang tidak pernah diduganya. Walaupun cuma muncul setengah jam saja, rasanya itu sudah cukup. Tetapi …. Kembali Astri menangis. Sampai pukul sebelas malam, tak ada sedikit pun tanda-tanda kemunculan Anto di rumahnya. Astri merasa jadi orang termalang di dunia. Doa punya pacar tapi tidak diperhatikan. Akhirnya Astri tidur dalam kejengkelan yang mendalam. Rasanya ia tidak mau bangun lagi dan bertemu dengan tampang jelek itu besok pagi. Toktoktok. Toktoktok. Masih berat sekali mata ini rasanya. Sudah pukul enam pagi. Astri menggeliat di tempat tidurnya. "Astri, mau sekolah tidak?" Suara Mama di luar mengingatkannya kalau ini masih hari Sabtu. Masih hari biasa yang padat dengan belajar dan belajar. Apalagi kalau tidak salah masih ada peer yang belum diselesaikannya. Gara-gara nungguin Anto semalam. "Iya, Ma. Sebentar lagi." Astri buru-buru membereskan tas sekolahnya. Untung pekerjaan rumah yang diberikan Bu Maya tidak terlalu susah. Ia hanya butuh waktu lima belas menit untuk menyelesaikannya. Sambil menyeruput susu, Astri segera mencangklong tas sekolah. "Lho, rotinya tidak dimakan?" tanya Mama keheranan. "Udah Astri masukin ke tas. Di mobil aja deh makannya." "Mau berangkat sama Papa atau Mama?" tanya Papa seraya melipat koran pagi. "Terserah deh. Yang mau berangkat duluan siapa, Pah?" ujar Astri balik bertanya. Duh, mata ini rasanya berat banget. Masih ngantuk. "Sama saya saja deh, Om." Celetukan di depan pintu membuat Astri tersedak. Ngapain lagi Anto pagi-pagi sudah muncul di rumahnya. Hhh, pasti dia mau berbaikan denganku. Mau minta maaf? No way! Tidak akan. Tidak akan. Aku masih kesal dan marah sekali. "Eeiih, masuklah, To. Astri sudah siap tuh mau ke sekolah. Tadi bangunnya agak terlambat, nggak tahu deh Tante mandinya bersih apa nggak ya?" goda Mama sambil melirik Astri. Astri diam saja sambil ikut ngeloyor keluar. Tetapi …. "Mana motor bututmu, To?" "Nanti aku ceritain. Tapi kamu memang lagi ingin naik mobil ini kan?" tanya Anto sambil mempersilakan gadisnya, masuk Peugeot 206 miliknya. Astri tersenyum malu. Lima menit pertama Astri masih gengsi, untuk memulai percakapan. Tetapi ketika diliriknya Anto yang tetap konsentrasi melihat ke depan, ia tidak tahan juga. Anto memang selalu bikin penasaran. "Mana motor bututmu, To?" ujar Astri mengulang pertanyaannya. "Sudah dijemput pakai mobil kok masih nanyain motor." "Habis kamu…." "Sebelumnya gue tanya dulu, masih marah nggak sama gue?" "Ya masih. Gue masih kesel banget sama kamu." "Ooohh." Tiba-tiba saja Anto ngerem mobilnya, membuat Astri spontan menjerit karena kaget. Apa-apaan sih! "Motor gue agak rusak. Diserempet orang kemarin malam." "Ya ampun! Kenapa?" "Mau ke rumah kamu, nggak taunya malah kecelakaan." "Aduh, kasihan banget. Tapi kamu nggak kenapa-napa kan?" Astri merasa kasihan sekaligus girang setengah mati. Ternyata Anto tidak secuek yang dikiranya. "Sakit juga sih koprol di jalan. Untung gue nggak terlalu ngebut, jadi cuma ngilu doang di mata kaki dan dengkul. Tulang kering yang kiri juga agak biru karena memar. Lumayan juga sakitnya." "Sekarang sudah baik kan?" tanya Astri, prihatin. Anto hanya mengangguk sedikit. "Ini untukmu." Seikat bunga mawar putih segar diambil Anto dari jok belakang. Astri merasa surprise. Ternyata Anto romantis juga kok. Gara-gara tidak mau mengecewakannya di hari Valentine sampai-sampai tabrakan segala. "Makasih ya, To." "No problem," jawab Anto seraya menjalankan kembali mobilnya. "Wah, kita pasti telat nih di sekolah." "Biarin." "Kamu siap dihukum sama guru BePe?" "Nggak apa-apa." "Nanti diledekin sama temen-temen lho, terlambatnya kok berdua sama pacar." "Biarin." Hati Astri lapang benar. Ternyata Anto itu baik dan cinta padanya. Saking senangnya ia jadi ingin mendengar sendiri dari mulut Anto mengenai maksud kedatangannya tadi malam. "Memangnya kamu datang mau ngapain?" "Pinjam buku." "Pinjam buku?" "Iya, novel Sidney Sheldon yang baru kamu beli itu sudah kamu baca habis kan? Giliran gue dong sekarang." "Haa? Jadi kamu bukannya mau merayakan Valentine bersama gue semalam?" "Ya nggak lah. Kan gue udah bilang kalau Valentine itu nggak berarti apa-apa." Astro melongo. Haruskah ia menangis? Sialan. Sialan. Anto memang sialan. (AnekaYess: Edisi ke-4 Tahun 2003, 14 - 27 Februari 2003)